Dalam perspektif asas dominus litis, penuntut umum merupakan pemilik perkara sedari awal karena yang diserahkan oleh penyidik hanyalah tanggungjawab terhadap tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum selaku pemilik perkara yang akan memutuskan dapat tidaknya perkara dilimpahkan ke pengadilan atau tidak. Surat dakwaan merupakan hasil dari produk penyidikan yang telah melalui proses penelitian perkara oleh penuntut umum sehingga perkara yang dilakukan penyidikan dinilai layak untuk dilakukan penuntutan. Hal ini menjadikan asas diferensiasi fungsional yang dianut dalam KUHAP tidak lagi sesuai dengan kebutuhan sistem peradilan pidana yang seharusnya terpadu saat ini.

Memang secara administrasi, antara fungsi-fungsi dalam sistem peradilan pidana dapat dibedakan, namun khusus untuk penyidikan dan penuntutan merupakan suatu premis tesis yang saling berhubungan antara satu sama lain. Selain itu, dalam perspektif asas penuntutan tunggal, fungsi penuntutan tidak dapat dilepaskan dari fungsi penyidikan meskipun kewenangan penuntutan diberikan kepada lembaga penuntutan. Kebijakan penanganan perkara pada tahap penyidikan dan penuntutan merupakan satu kebijakan sehingga tidak menimbulkan disparitas.

Berdasarkan hal tersebut, KUHAP sebagai landasan operasional sistem peradilan pidana harus mengubah paradigma dengan menerapkan asas penuntutan tunggal yang menjadikan Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum Tertinggi yang dapat menetapkan kebijakan penanganan perkara pada tahap penuntutan dan penyidikan. Pertanggungjawaban pelaksanaan penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Agung nantinya akan dipertanggungjawabkan di depan Dewan Perwakilan Rakyat selaku representasi rakyat sebagai pemilik kedaulatan/kekuasaan (vide Pasal 37 ayat (2) UU Kejaksaan).

Berbagai asas dan norma hukum tersebut menjadikan penuntut umum memiliki posisi yang strategis, peranan yang sangat penting, dan tentunya tanggungjawab dalam menentukan suatu perkara diselesaikan melalui mekanisme persidangan atau di luar persidangan. Spirit penguatan tersebut pun diterjemahkan secara tertulis (lex certa) dan jelas (lex stricta) dalam Undang- Undang Kejaksaan yang baru.

Dalam Pasal 37 Undang-Undang Kejaksaan menyatakan bahwa Jaksa Agung bertanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani. Dalam penjelasan pasal tersebut menjelaskan bahwa sebagai perwujudan dari keadilan restoratif, penuntutan dilakukan dengan menimbang antara kepastian hukum (rechtmatigheids) dan kemanfaatannya (doelmatigheids). Perlu diketahui bahwa selain Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, Undang-Undang Kejaksaan inilah sebagai satu-satunya produk hukum yang mengatur kelembagaan aparat penegak hukum yang menyebutkan secara tegas mengenai keadilan restoratif sebagai tujuan yang harus dicapai dalam pelaksanaan tugas, fungsi dan wewenang.

Pasal 37 Undang-Undang Kejaksaan tersebut mendudukkan Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum Tertinggi yang bertanggungjawab dalam mewujudkan keadilan restoratif pada proses penuntutan yang tidak dapat dilepaskan dengan fungsi penyidikan